Sunyi Paling Riuh
Di dalam kamarku, aku membuka sebuah kotak kaleng tempatku menyimpan rol film hasil jepetran kamera analog. Kamera itu juga memiliki makna besar buatku. Semua hal yang dihadiahkan ibu kepadaku di hari ulang tahun, selalu punya makna mendalam. “Salah satu cara menghentikan waktu selain mencium orang yang kau sayangi adalah dengan memotretnya. Satu detik untuk selamanya.” Itu kalimat yang diucapkan Ibu ketika memberiku hadiah berharga ini.
Di kamarku pun, aku masih belum mampu mengeluarkan kesedihan dengan air mata. Aku telah mengabadikan banyak sekali wajah ibu. Aku perhatikan satu per satu fotonya. Hatiku membuih panas. Ini bukan kesedihan. Ini kemarahan.
Aku marah karena ibu tak pernah membagi perasaannya. Ada hal dalam keluarga ini yang membuat Ibu tak sanggup bertahan lebih lama lagi. Aku marah, aku marah karena selama ini ibu berpura-pura baik-baik saja. Aku marah, aku marah pada keadaan yang menuntut orang-orang bersikap berkebalikan dari apa yang mereka rasakan. Aku marah pada diriku sendiri.
Jika dengan pergi meninggalkan kami adalah cara Ibu untuk meraih kembali dirinya yang hilang dan untuk mempertahankan kewarasan, maka aku juga akan mencari hal yang bisa membuatku tetap bertahan. Setidaknya, bertahan untuk tidak meledak.
Jika satu kompas rusak dan hilang entah ke mana, beli kompas yang baru. Setidaknya bila maknanya sudah tak lagi sama, dia tetap memberimu arah.
©️menulisawu on twitter